Rabu, 25 April 2012

Perubahan ATP menjadi inosin, Degradasi ATP, dan Organoleptik



TEKNOLOGI DAN FISIOLOGI PASCA PANEN
(Perubahan ATP menjadi inosin, Degradasi ATP, dan Organoleptik)

Oleh :

Fatihatu Rizqiy                      : 115080300111116
Siti Sufiyah Adawiyah          : 115080300111132



FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2012



Perubahan ATP menjadi Inosin

Nurjanah et al (2004) dalam jurnalnya yang berjudul “KEMUNDURAN MUTU IKAN NILA MERAH (Oreochromis sp.) SELAMA PENYIMPANAN PADA SUHU RUANG” menyatakan bahwa  Pada ikan mati, ATP akan cepat berubah menjadi ADP oleh enzim ATP-ase, kemudian berubah menjadi AMP oleh enzim miokinase. Perubahan AMP menjadi IMP dipengaruhi oleh enzim deaminase dan dari IMP menjadi inosin dipengaruhi oleh enzim fosfatase. IMP (asam inosinat) dikenal sebagai penyambung rasa manis pada daging ikan. Cita rasa yang ditimbulkan oleh asam inosinat (IMP) merupakan pengaruh kombinasi dengan asam glutamat.
Menurut Rizal (2011), setelah ikan mati, ATP akan terdegradasi oleh enzim endogenous yang menyebabkan pembentukan berturut-turut adenosin-5'-difosfat (ADP), adenosin-5'-monophosphate (AMP), inosin-5'-monophosphate (IMP), inosin (Ino atau HxR) dan hipoksantin (Hx) yang degradasi ke xanthine (X) dan uric acid (U). Degradasi ATP sampai IMP sangat cepat, tetapi degradasi IMP relatif lambat,
Menurut Suwetja (2011), ATP setelah ikan tersebut mati yaitu sampai tingkat IMP berlangsung dalam reaksi yang cepat, sedangkan penguraian IMP menjadi inosin dan inosin menjadi hipoksantin kecepatan reaksinya berbeda-beda menurut jenis iklas. Berdasarkan kecepatan reaksinya tersebut, telah dibedakan ikan ke dalam tiga tipe, yaitu :
1.     Golongan ikan dengan hasil penguraian ATP yang terakumulasi pada tingkat inosin.
2.     Golongan ikan dengan hasil penguraian ATP yang terakumulasi pada tingkat hipoksantin.
3.     Golongan ikan antara tipe 1 dan tipe 2.
Tipe ini diberi istilah lain oleh peneliti jepang, Uchiyama pada tahun 1978. Ia mengatakan bahwa jenis ikan pembentuk inosin, jenis ikan pembentuk hipoksantin. Jenis ikan pembentuk inosin artinya penguraian ATP pada ikan tersebut hampir seluruhnya terhenti pada tingkat inosin dalam jangka waktu yang relatif lama. Jenis ikan pembentuk hipoksantin artinya penguraian ATP pada jenis ikan ini hampir seleruhnya berlangsung sampai pada tingkat hipoksantin. Sedangkan jenis-jenis ikan pembentuk inosin dan hipoksantin adalah jenis ikan di mana penguraian ATPnya sebagian terhenti pada inosin dan sebagian lagi reaksinya berjalan terus sampai ke tingkat hipoksantin. Selanjutnya mengatakan bahwa jenis ikan yang termasuk tipe pembentuk inosin, antara lain tuna, cakalang, marlin, kembung, selar, ekor kuning, dan lain-lain. Kemudian jenis ikan yang termasuk pembentuk hipoksantin antara lain salmon, halibut, buntek, dan lain-lain.
   Menurut Eskin (1990), reaksi perubahan ATP menjadi inosin untuk anaerob adalah sebagai berikut :
         Nukleotida utama yang berperan dalam mentransfer energi yaitu ATP, juga berperan dalam penambahan jumlah amonia pada volatil amin setelah kematian ikan. Nukleotida ATP adalah senyawa utama pembawa energi kimia dalam sel. Ketika ikan mati, kondisi menjadi anaerob dan ATP akan terurai dengan melepaskan energi (Jiang, 2000). Nukleotida ATP cepat berubah menjadi ADP oleh enzim ATPase, kemudian diubah menjadi AMP oleh miokinase. Selanjutnya AMP diubah oleh enzim deaminase menjadi IMP dan dari IMP diubah menjadi inosin oleh enzim fosfatase. Kemudian inosin dengan cepat berubah menjadi hipoksantin. Deaminasi AMP menjadi IMP telah melepaskan molekul amonia (NH3) dari gugusan basa purin adenine.
Addenosintrifosfat (ATP) diketahui memegang peranan penting pada pembentukan komponen-komponen citarasa daging ikan segar. Di samping ATP dapat menghasilkan tenaga, diketahui pula senyawa ini dapat menghasilkan inosin monofosfat (IMP, asam inosinat) yang dapat memberikan citarasa enak pada  daging ikan. Dalam daging ikan, ATP biasanya berbentuk molekul kompleks dengan kation-kation divalent misalnya MG2+. Pembongkaran ATPmenjadi IMP berlangsung dalam dua tahapan proses, yaitu defosforilasi dan deaminasi. Tetapi pembongkaran ini berlangsung lama. Setelah daging ikan rusak, masih juga terdapat sedikit ATP. Hal ini disebabkan karena selain terjadi pembongkaran ATP juga terjadi pembentukan kembali (resintesa) ATP dari ADP dan fosfat hasil pemecahan keratin- fosfat. Dari berbagai penelitian diketahui terbpngkarnya ATP akan diikuti pula dengan timbulnya ammonia (NH3), karbohidrat (ribose dan ribosefosfat), dan hipoksantin. Pemeriksaan dengan kromatografi menunjukkan bahwa disamping asam inosinat yang terbentuk, menghilangnya ATP juga diikuti dengan timbulnya puncak-puncak inosin trifosfat (ITP) dan inosin difosfat (IDP) dalam waktu yang agak lama seteah ikan mati. Timbulnya asam inosinat dapat memberikan citarasa ikan, yang oleh beberapa ahli dianggap sebagai citaras yang paling baik. Tetapi asam inosinat akan segera terbongkar menjadi inosin yang  menyebabkan daging ikan menjadi hambar. Hipoksantin adalah hasil pembongkaran terakhir dari ATP. Demikian pula ribose dan ribosafosfat adalah hasil akhir pembongkaran ATP.
Menurut Hadiwiyoto (1993), pembongkaran inosin menjadi hipoksantin dapat melalui 2 jalan, yaitu oleh enzim nukleosida hidrolase atau oleh enzim nukleosida fosforilase tetapi pembongkaran inosin oleh nukleosida fosforilase jarang terjadi pada daging ikan. Member rasa pahit pada daging ikan dan sering digunakan sebagai indeks kesegaran ikan. Pembonkaran ini dipengaruhi oleh berbagai factor, antara lain factor suhu sangat berperan. Semakin suhu tinggi, pembongkaran ATP lebih cepat  daripada suhu rendah. Sementara itu jenis ikan juga memegang peranan pada kecepatan pembongkaran ATP, dan ini mungkin ada kaitannya dengan banyak sedikitnya kandungan glikogeen dalam daging ikan.

Suhu Degradasi ATP

         Suhu dapat mempunyai dua pengaruh yang saling berlawanan terhadap aktivitas enzim dan juga sebaliknya mendenaturasi protein enzim. Denaturasi protein enzim dapat  menyebabkan hilangnya aktivitas katalik dalam enzim. Hamper semua enzim mempunyai aktivitas optimum pada suhu 30-400 C dan mulai terjadi denaturasi pada suhu 50C. Sedangkan pada suhu antara 5-650C merupakan suhu kritis bagi enzim (Suwetja, 2011).

Organoleptik

Menurut Suptijah et al (2008) dalam penelitiannya yang berjudul “Daya Hambat Khitosan Terhadap Kemunduran Mutu Fillet Ikan Patin (Pangsius hypopthalmus) Pada Penyimpanan Suhu Ruang” menyatakan bahwa, Pengujian organoleptik merupakan metode pengujian yang menggunakan panca indera sebagai alat utama untuk menilai mutu produk. Pengujian ini mempunyai peranan yang penting sebagai pendeteksian awal dalam menilai mutu untuk mengetahui penyimpangan dan perubahan pada produk. Penilaian secara organoleptik terhadap fillet ikan patin ini meliputi parameter penampakan daging, tekstur, bau dan lendir di permukaan kulit fillet.
Nurjanah et al (2004) dalam jurnalnya yang berjudul “KEMUNDURAN MUTU IKAN NILA MERAH (Oreochromis sp.) SELAMA PENYIMPANAN PADA SUHU RUANG” menyatakan bahwa, Rigor mortis pada ikan nila merah mengalami tahapan yaitu pre rigor, rigor, dan post rigor. Uraian mengenai waktu dan lamanya masa dari masing-masing fase hasil penelitian ini adalah pre rigor, rigor mortis, dan post rigor.
Pre rigor
Tahap pre rigor terjadi selama 2 jam setelah ikan dimatikan. Tahap ini ditandai dengan jaringan daging ikan yang masih lembut dan lentur serta adanya lapisan bening di sekeliling tubuh ikan yang terbentuk oleh peristiwa pelepasan lendir dan kelenjar bawah kulit. Nilai mutu kesegaran ikan pada tahap ini adalah organoleptik 9, TVB 18,67 – 20 mg N/100g; TPC 3,4 x 104 – 6,3 x 104 unit koloni/g; pH 6,7; dan nilai K 0,00 % - 8,22%. Spesifikasi ikan dengan nilai organoleptik 9 adalah sebagai berikut : mata cerah, bola mata menonjol, kornea jernih, insang berwarna merah cemerlang tanpa lendir, sayatan daging cemerlang berwarna asli, tidak ada pemerahan sepanjang tulang belakang, perut utuh, ginjal merah terang, dinding daging perutnya utuh, dan bau isi perut segar, konsistensi otot elastis bila ditekan dengan jari, sulit menyobek daging dari tulang belakang.
Parameter uji obyektif yang terdiri dari pH, TVB, TPC dan nilai K pada fase pre rigor masih termasuk kategori mutu yang baik. Untuk TVB <20 mg N/100g dikatakan ikan segar. Batas nilai TVB ikan air tawar yang masih dapat diterima berkisar antara 18 – 25 mg N/100 g. Nilai TPC maksimum untuk ikan segar ekspor adalah 5 x 105 koloni/g.
Rigor Mortis
Tahap rigor mortis terjadi selama 10 jam (2-12 jam) setelah ikan dimatikan dengan keadaan daging yang kaku. Nilai mutu kesegaran ikan pada tahap ini adalah sebagai berikut : Organoleptik 9-5; TVB 20-24 mg N/100g; TPC 2,2x104-3,7x105 ; unit koloni/g; pH 6,26,60; Nilai K 8,22-41,00%. Nilai organoleptik dipengaruhi dengan adanya senyawa-senyawa volatil terutama yang menyebabkan bau yang mengakibatkan skor menjadi rendah. Berdasarkan parameter yang diamati menunjukkan adanya korelasi yang cukup baik untuk parameter nilai K dan TVB, sedangkan untuk TPC dan pH kurang berkorelasi. Korelasi yang erat antara nilai organoleptik dan nilai K dapat digunakan sebagai patokan atau panduan untuk menentukan mutu kesegaran ikan. Nilai organoleptik dipengaruhi dengan adanya senyawa-senyawa volatil terutama yang menyebabkan bau yang mengakibatkan skor menjadi rendah. Berdasarkan parameter yang diamati menunjukkan adanya korelasi yang cukup baik untuk parameter nilai K dan TVB, sedangkan untuk TPC dan pH kurang berkorelasi. Korelasi yang erat antara nilai organoleptik dan nilai K dapat digunakan sebagai patokan atau panduan untuk menentukan mutu kesegaran ikan. Nilai K ikan Tilapia 53 % masih dapat diterima, sehingga ikan nila merah pada
penelitian ini dapat disimpulkan masih segar sampai penyimpanan 12 jam (Nilai K 41,00 %). Pada ikan mati, ATP akan cepat berubah menjadi ADP oleh enzim ATP-ase, kemudian berubah menjadi AMP oleh enzim miokinase. Perubahan AMP menjadi IMP dipengaruhi oleh enzim deaminase dan dari IMP menjadi inosin dipengaruhi oleh enzim fosfatase. IMP (asam inosinat) dikenal sebagai penyambung rasa manis pada daging ikan. Cita rasa yang ditimbulkan oleh asam inosinat (IMP) merupakan pengaruh kombinasi dengan asam glutamat. Defosforilasi dari IMP menjadi inosin relatif lambat, tetapi inosin sangat cepat berubah menjadi hipoksantin, konsentrasi hipoksantin akan meningkat dengan menurunnya mutu kesegaran ikan. Tahap awal hipoksantin terbentuk secara autolisis, pada tahap kemunduran mutu selanjutnya aktivitas bakteri juga berperan dalam menambah jumlah hipoksantin yang memberikan rasa pahit pada daging ikan.

Post rigor
Ikan nila merah ditolak secara organoleptik setelah 12 – 24 jam setelah ikan dimatikan dengan skor 3 – 5 . Nilai 5 merupakan ambang batas kesegaran ikan. Ciri-ciri ikan yang memiliki nilai 5 adalah sebagai berikut: bola mata agak cekung, pupil keabuabuan, kornea agak keruh, insang menampakkan diskolorisasi merah muda dan berlendir, sayatan daging mulai pudar, banyak pemerahan pada tulang belakang, bau seperti susu asam, konsistensi agak lunak, mudah menyobek daging dari tulang belakang.
            Menurut Hadiwiyoto (1993), perubahan-perubahan biokimiawi yang terjadi pada daging ikan setelah ikan mati banyak mempengaruhi sifat-sifat fisiknya, antara lain kelenturan (tenderness) dagingnya, ketegaran (firmness) dan terdapatnya noda-noda warna pada daging. Disamping itu, sifat organoleptik daging banyak berubah terutama cita rasanya sehingga sangat mempengaruhi derajat penerimaan konsumen. Kaitan perubahan-perubahan biokimiawi dengan sifat-sifat sensorik daging ikan yang sangat komplek untuk diterangkan.   
            Menurut Novalia et al (2007), penilaian organoleptis dilakukan terhadap parameter mata, insang, epidermis/tekstur, dinding perut, sayatan otot dan bau dengan skala 1-5. Hash penilaian panelis terhadap mutu hedonik ikan kerapu yang disimpan pada suhu dingin dapat dilihat pada Gambar 3. Apabila didasarkan pada nilai 3 sebagai nitai batas penolakan, ikan ditolak pada han ke-12 penyimpanan, pada saat mata terlihat cekung, kornea keruh dan pupil kusam. Di samping itu insang telah berwarna pucat, filamen jarang dan berlendir tebal, epidermis mengalami diskolorasi dan terdapat Jendir yang tebal. Dinding perut juga berubah warna dan mudah sobek, sedangkan sayatan otot sudah tidak elastis dan secara keseuruhan ikan berbau menusuk.
                                                                                        


Daftar Pustaka


Eskin NAM. 1990. Biochemistry of Food. Second Edition. San Diego : Academic Press, Inc.
Hadiwiyoto, Suseno. 1993. Teknologi Pengolahan Hasil Perikanan. Yogyakarta : Liberty Yogyakarta hal : 76-77, 80
Novalia et al.  2007. Pembentukan Formaldehid pada Ikan Kerapu Macan (Ephinephelus fuscoguftatus)Selama Penyimpanan Suhu Dingin. Vol.2. No.2. Hal 140-141
Nurjanah et al. 2004. Kemunduran Mutu Ikan Nila Merah (Oreochromis Sp.) Selama Penyimpanan Pada Suhu Ruang. Buletin Teknologi Hasil Perikanan
Suptijah et al. 2008. Kajian Efek Daya Hambat Khitosan Terhadap Kemunduran Mutu Fillet Ikan Patin (Pangsius hypopthalmus) Pada Penyimpanan Suhu Ruang. Bogor : Institut Pertanian Bogor
Suwetja. 2011. Biokimia Hasil Perikanan. Jakarta : Media Prima Aksara hal
Rizal, Ahmad. 2011. Analisis dan Desain Sistem Informasi Untuk Penerapan Dokumentasi Program Treaceability Pada Rantai Distribusi Produk Tuna Loin Beku. Bogor: Institut Pertanian Bogor

Tidak ada komentar:

Posting Komentar