TEKNOLOGI DAN FISIOLOGI PASCA PANEN
(Perubahan ATP menjadi inosin, Degradasi
ATP, dan Organoleptik)
Oleh
:
Fatihatu Rizqiy : 115080300111116
Siti Sufiyah Adawiyah : 115080300111132
FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2012
Perubahan
ATP menjadi Inosin
Nurjanah et al (2004) dalam jurnalnya
yang berjudul “KEMUNDURAN MUTU IKAN
NILA MERAH (Oreochromis sp.)
SELAMA PENYIMPANAN PADA SUHU RUANG” menyatakan bahwa Pada ikan mati, ATP akan cepat berubah
menjadi ADP oleh enzim ATP-ase, kemudian berubah menjadi AMP oleh enzim
miokinase. Perubahan AMP menjadi IMP dipengaruhi oleh enzim deaminase dan dari
IMP menjadi inosin dipengaruhi oleh enzim fosfatase. IMP (asam inosinat)
dikenal sebagai penyambung rasa manis pada daging ikan. Cita rasa yang
ditimbulkan oleh asam inosinat (IMP) merupakan pengaruh kombinasi dengan asam
glutamat.
Menurut
Rizal (2011), setelah ikan mati, ATP akan terdegradasi oleh enzim endogenous
yang menyebabkan pembentukan berturut-turut adenosin-5'-difosfat (ADP),
adenosin-5'-monophosphate (AMP), inosin-5'-monophosphate (IMP), inosin (Ino
atau HxR) dan hipoksantin (Hx) yang degradasi ke xanthine (X) dan uric acid (U).
Degradasi ATP sampai IMP sangat cepat, tetapi degradasi IMP relatif lambat,
Menurut Suwetja (2011), ATP setelah
ikan tersebut mati yaitu sampai tingkat IMP berlangsung dalam reaksi yang
cepat, sedangkan penguraian IMP menjadi inosin dan inosin menjadi hipoksantin
kecepatan reaksinya berbeda-beda menurut jenis iklas. Berdasarkan kecepatan
reaksinya tersebut, telah dibedakan ikan ke dalam tiga tipe, yaitu :
1.
Golongan ikan
dengan hasil penguraian ATP yang terakumulasi pada tingkat inosin.
2.
Golongan ikan
dengan hasil penguraian ATP yang terakumulasi pada tingkat hipoksantin.
3.
Golongan ikan
antara tipe 1 dan tipe 2.
Tipe ini diberi istilah lain oleh
peneliti jepang, Uchiyama pada tahun 1978. Ia mengatakan bahwa jenis ikan
pembentuk inosin, jenis ikan pembentuk hipoksantin. Jenis ikan pembentuk inosin
artinya penguraian ATP pada ikan tersebut hampir seluruhnya terhenti pada
tingkat inosin dalam jangka waktu yang relatif lama. Jenis ikan pembentuk
hipoksantin artinya penguraian ATP pada jenis ikan ini hampir seleruhnya berlangsung
sampai pada tingkat hipoksantin. Sedangkan jenis-jenis ikan pembentuk inosin
dan hipoksantin adalah jenis ikan di mana penguraian ATPnya sebagian terhenti
pada inosin dan sebagian lagi reaksinya berjalan terus sampai ke tingkat
hipoksantin. Selanjutnya mengatakan bahwa jenis ikan yang termasuk tipe
pembentuk inosin, antara lain tuna, cakalang, marlin, kembung, selar, ekor
kuning, dan lain-lain. Kemudian jenis ikan yang termasuk pembentuk hipoksantin antara
lain salmon, halibut, buntek, dan lain-lain.
Menurut
Eskin (1990), reaksi perubahan ATP menjadi inosin untuk anaerob adalah sebagai berikut :
Nukleotida
utama yang berperan dalam mentransfer energi yaitu ATP, juga berperan dalam
penambahan jumlah amonia pada volatil amin setelah kematian ikan. Nukleotida
ATP adalah senyawa utama pembawa energi kimia dalam sel. Ketika ikan mati,
kondisi menjadi anaerob dan ATP akan terurai dengan melepaskan energi (Jiang,
2000). Nukleotida ATP cepat berubah menjadi ADP oleh enzim ATPase, kemudian
diubah menjadi AMP oleh miokinase. Selanjutnya AMP diubah oleh enzim deaminase
menjadi IMP dan dari IMP diubah menjadi inosin oleh enzim fosfatase. Kemudian
inosin dengan cepat berubah menjadi hipoksantin. Deaminasi AMP menjadi IMP
telah melepaskan molekul amonia (NH3) dari gugusan basa purin adenine.
Addenosintrifosfat (ATP) diketahui
memegang peranan penting pada pembentukan komponen-komponen citarasa daging
ikan segar. Di samping ATP dapat menghasilkan tenaga, diketahui pula senyawa
ini dapat menghasilkan inosin monofosfat (IMP, asam inosinat) yang dapat
memberikan citarasa enak pada daging
ikan. Dalam daging ikan, ATP biasanya berbentuk molekul kompleks dengan
kation-kation divalent misalnya MG2+. Pembongkaran ATPmenjadi IMP
berlangsung dalam dua tahapan proses, yaitu defosforilasi dan deaminasi. Tetapi
pembongkaran ini berlangsung lama. Setelah daging ikan rusak, masih juga
terdapat sedikit ATP. Hal ini disebabkan karena selain terjadi pembongkaran ATP
juga terjadi pembentukan kembali (resintesa) ATP dari ADP dan fosfat hasil
pemecahan keratin- fosfat. Dari berbagai penelitian diketahui terbpngkarnya ATP
akan diikuti pula dengan timbulnya ammonia (NH3), karbohidrat
(ribose dan ribosefosfat), dan hipoksantin. Pemeriksaan dengan kromatografi
menunjukkan bahwa disamping asam inosinat yang terbentuk, menghilangnya ATP
juga diikuti dengan timbulnya puncak-puncak inosin trifosfat (ITP) dan inosin
difosfat (IDP) dalam waktu yang agak lama seteah ikan mati. Timbulnya asam
inosinat dapat memberikan citarasa ikan, yang oleh beberapa ahli dianggap
sebagai citaras yang paling baik. Tetapi asam inosinat akan segera terbongkar
menjadi inosin yang menyebabkan daging
ikan menjadi hambar. Hipoksantin adalah hasil pembongkaran terakhir dari ATP.
Demikian pula ribose dan ribosafosfat adalah hasil akhir pembongkaran ATP.
Menurut Hadiwiyoto (1993), pembongkaran inosin menjadi
hipoksantin dapat melalui 2 jalan, yaitu oleh enzim nukleosida hidrolase atau
oleh enzim nukleosida fosforilase tetapi pembongkaran inosin oleh nukleosida
fosforilase jarang terjadi pada daging ikan. Member rasa pahit pada daging ikan
dan sering digunakan sebagai indeks kesegaran ikan. Pembonkaran ini dipengaruhi
oleh berbagai factor, antara lain factor suhu sangat berperan. Semakin suhu
tinggi, pembongkaran ATP lebih cepat
daripada suhu rendah. Sementara itu jenis ikan juga memegang peranan
pada kecepatan pembongkaran ATP, dan ini mungkin ada kaitannya dengan banyak
sedikitnya kandungan glikogeen dalam daging ikan.
Suhu Degradasi ATP
Suhu dapat mempunyai dua pengaruh yang
saling berlawanan terhadap aktivitas enzim dan juga sebaliknya mendenaturasi
protein enzim. Denaturasi protein enzim dapat
menyebabkan hilangnya aktivitas katalik dalam enzim. Hamper semua enzim
mempunyai aktivitas optimum pada suhu 30-400 C dan mulai terjadi
denaturasi pada suhu 50C. Sedangkan pada suhu antara 5-650C
merupakan suhu kritis bagi enzim (Suwetja, 2011).
Organoleptik
Menurut
Suptijah et al (2008) dalam penelitiannya yang berjudul “Daya Hambat Khitosan
Terhadap Kemunduran Mutu Fillet Ikan
Patin (Pangsius hypopthalmus) Pada
Penyimpanan Suhu Ruang” menyatakan bahwa, Pengujian organoleptik merupakan metode
pengujian yang menggunakan panca indera sebagai alat utama untuk menilai mutu
produk. Pengujian ini mempunyai peranan yang penting sebagai pendeteksian awal
dalam menilai mutu untuk mengetahui penyimpangan dan perubahan pada produk.
Penilaian secara organoleptik terhadap fillet ikan patin ini meliputi
parameter penampakan daging, tekstur, bau dan lendir di permukaan kulit fillet.
Nurjanah
et al (2004) dalam jurnalnya yang berjudul “KEMUNDURAN MUTU IKAN NILA MERAH (Oreochromis sp.) SELAMA PENYIMPANAN PADA SUHU RUANG”
menyatakan bahwa, Rigor mortis pada ikan nila merah mengalami tahapan
yaitu pre rigor, rigor, dan post rigor. Uraian mengenai waktu dan lamanya masa
dari masing-masing fase hasil penelitian ini adalah pre rigor, rigor mortis,
dan post rigor.
Pre rigor
Tahap pre rigor terjadi selama 2 jam
setelah ikan dimatikan. Tahap ini ditandai dengan jaringan daging ikan yang
masih lembut dan lentur serta adanya lapisan bening di sekeliling tubuh ikan
yang terbentuk oleh peristiwa pelepasan lendir dan kelenjar bawah kulit. Nilai
mutu kesegaran ikan pada tahap ini adalah organoleptik 9, TVB 18,67 – 20 mg
N/100g; TPC 3,4 x 104 – 6,3 x 104 unit koloni/g; pH 6,7; dan nilai K 0,00 % -
8,22%. Spesifikasi ikan dengan nilai organoleptik 9 adalah sebagai berikut :
mata cerah, bola mata menonjol, kornea jernih, insang berwarna merah cemerlang
tanpa lendir, sayatan daging cemerlang berwarna asli, tidak ada pemerahan
sepanjang tulang belakang, perut utuh, ginjal merah terang, dinding daging
perutnya utuh, dan bau isi perut segar, konsistensi otot elastis bila ditekan
dengan jari, sulit menyobek daging dari tulang belakang.
Parameter uji obyektif yang terdiri
dari pH, TVB, TPC dan nilai K pada fase pre rigor masih termasuk kategori mutu
yang baik. Untuk TVB <20 mg N/100g dikatakan ikan segar. Batas nilai TVB
ikan air tawar yang masih dapat diterima berkisar antara 18 – 25 mg N/100 g.
Nilai TPC maksimum untuk ikan segar ekspor adalah 5 x 105 koloni/g.
Rigor Mortis
Tahap rigor mortis terjadi selama 10
jam (2-12 jam) setelah ikan dimatikan dengan keadaan daging yang kaku. Nilai
mutu kesegaran ikan pada tahap ini adalah sebagai berikut : Organoleptik 9-5;
TVB 20-24 mg N/100g; TPC 2,2x104-3,7x105 ; unit koloni/g; pH 6,26,60; Nilai K
8,22-41,00%. Nilai organoleptik dipengaruhi dengan adanya senyawa-senyawa
volatil terutama yang menyebabkan bau yang mengakibatkan skor menjadi rendah.
Berdasarkan parameter yang diamati menunjukkan adanya korelasi yang cukup baik
untuk parameter nilai K dan TVB, sedangkan untuk TPC dan pH kurang berkorelasi.
Korelasi yang erat antara nilai organoleptik dan nilai K dapat digunakan
sebagai patokan atau panduan untuk menentukan mutu kesegaran ikan. Nilai
organoleptik dipengaruhi dengan adanya senyawa-senyawa volatil terutama yang
menyebabkan bau yang mengakibatkan skor menjadi rendah. Berdasarkan parameter
yang diamati menunjukkan adanya korelasi yang cukup baik untuk parameter nilai
K dan TVB, sedangkan untuk TPC dan pH kurang berkorelasi. Korelasi yang erat
antara nilai organoleptik dan nilai K dapat digunakan sebagai patokan atau
panduan untuk menentukan mutu kesegaran ikan. Nilai K ikan Tilapia 53 % masih
dapat diterima, sehingga ikan nila merah pada
penelitian ini dapat disimpulkan masih
segar sampai penyimpanan 12 jam (Nilai K 41,00 %). Pada ikan mati, ATP akan
cepat berubah menjadi ADP oleh enzim ATP-ase, kemudian berubah menjadi AMP oleh
enzim miokinase. Perubahan AMP menjadi IMP dipengaruhi oleh enzim deaminase dan
dari IMP menjadi inosin dipengaruhi oleh enzim fosfatase. IMP (asam inosinat)
dikenal sebagai penyambung rasa manis pada daging ikan. Cita rasa yang
ditimbulkan oleh asam inosinat (IMP) merupakan pengaruh kombinasi dengan asam
glutamat. Defosforilasi dari IMP menjadi inosin relatif lambat, tetapi inosin
sangat cepat berubah menjadi hipoksantin, konsentrasi hipoksantin akan
meningkat dengan menurunnya mutu kesegaran ikan. Tahap awal hipoksantin
terbentuk secara autolisis, pada tahap kemunduran mutu selanjutnya aktivitas
bakteri juga berperan dalam menambah jumlah hipoksantin yang memberikan rasa
pahit pada daging ikan.
Post rigor
Ikan nila merah ditolak secara
organoleptik setelah 12 – 24 jam setelah ikan dimatikan dengan skor 3 – 5 .
Nilai 5 merupakan ambang batas kesegaran ikan. Ciri-ciri ikan yang memiliki
nilai 5 adalah sebagai berikut: bola mata agak cekung, pupil keabuabuan, kornea
agak keruh, insang menampakkan diskolorisasi merah muda dan berlendir, sayatan
daging mulai pudar, banyak pemerahan pada tulang belakang, bau seperti susu asam,
konsistensi agak lunak, mudah menyobek daging dari tulang belakang.
Menurut
Hadiwiyoto (1993), perubahan-perubahan
biokimiawi yang terjadi pada daging ikan setelah ikan mati banyak mempengaruhi
sifat-sifat fisiknya, antara lain kelenturan (tenderness) dagingnya, ketegaran
(firmness) dan terdapatnya noda-noda warna pada daging. Disamping itu, sifat
organoleptik daging banyak berubah terutama cita rasanya sehingga sangat
mempengaruhi derajat penerimaan konsumen. Kaitan perubahan-perubahan biokimiawi
dengan sifat-sifat sensorik daging ikan yang sangat komplek untuk diterangkan.
Menurut
Novalia et al (2007), penilaian organoleptis dilakukan
terhadap parameter mata, insang, epidermis/tekstur, dinding perut, sayatan otot
dan bau dengan skala 1-5. Hash penilaian panelis terhadap mutu hedonik ikan
kerapu yang disimpan pada suhu dingin dapat dilihat pada Gambar 3. Apabila
didasarkan pada nilai 3 sebagai nitai batas penolakan, ikan ditolak pada han
ke-12 penyimpanan, pada saat mata terlihat cekung, kornea keruh dan pupil
kusam. Di samping itu insang telah berwarna pucat, filamen jarang dan berlendir
tebal, epidermis mengalami diskolorasi dan terdapat Jendir yang tebal.
Dinding perut juga berubah warna dan mudah sobek, sedangkan sayatan otot sudah
tidak elastis dan secara keseuruhan ikan berbau menusuk.
Daftar Pustaka
Eskin NAM. 1990. Biochemistry of Food. Second
Edition. San Diego : Academic Press, Inc.
Hadiwiyoto, Suseno. 1993. Teknologi Pengolahan Hasil
Perikanan. Yogyakarta : Liberty Yogyakarta hal : 76-77, 80
Novalia et al.
2007. Pembentukan Formaldehid
pada Ikan Kerapu Macan (Ephinephelus fuscoguftatus)Selama Penyimpanan Suhu
Dingin. Vol.2. No.2. Hal 140-141
Nurjanah et al. 2004. Kemunduran Mutu Ikan Nila
Merah (Oreochromis Sp.) Selama
Penyimpanan Pada Suhu Ruang. Buletin Teknologi Hasil Perikanan
Suptijah et al. 2008. Kajian Efek Daya Hambat
Khitosan Terhadap Kemunduran Mutu Fillet Ikan Patin (Pangsius hypopthalmus) Pada Penyimpanan Suhu Ruang. Bogor :
Institut Pertanian Bogor
Suwetja. 2011. Biokimia Hasil Perikanan. Jakarta :
Media Prima Aksara hal
Rizal, Ahmad.
2011. Analisis dan Desain Sistem Informasi Untuk Penerapan Dokumentasi Program
Treaceability Pada Rantai Distribusi Produk Tuna Loin Beku. Bogor: Institut
Pertanian Bogor
Tidak ada komentar:
Posting Komentar